Kenali-lah Dyahpitaloka

Aku...Dyahpitaloka, suka banget nulis hal-hal gak penting yang mungkin susah dicerna orang lain. Tapi melalui tulisan-tulisan yang mungkin membingungkan buat ditangkap maksudnya ini, Dyahpitaloka sebenarnya hanya ingin membagi apa yang sedang dalam pikirannya, curhatlah intinya...atau kadang juga ngomongin hal yang menurutnya menarik..
Jadi, kalo berkenan, silakan mampir dan kenalilah Dyahpitaloka melalui coretan-coretannya ini...

Pages

Jumat, 25 Juni 2010

Sang Pelari


Dia adalah seorang pelari yang jatuh dan kehilangan harapan atas pialanya. Dia adalah seorang pelari yang harus keluar lintasan lari dengan kaki tertatih, hati menangis tapi masih harus tersenyum menghadapi audience yang menyoraki kekalahan telaknya. Berjalan semakin jauh dari lintasan, membuat sang pelari memutuskan untuk menggantungkan semua atribut larinya. Pesimis bahwa suatu hari dia bisa kembali ke lintasan itu lagi.

Tidak pernah diduga, akhirnya sang pelari akan kembali berdiri pada garis start lagi dengan lintasan panjang di depannya. Lintasan panjang yang pernah dia tinggalkan di tengah jalan setelah terjatuh dan mengalami cedera.

Sang pelari tahu, kembali ke lintasan setelah sekian lama absen, tidaklah mudah. Dia harus melakukan pemanasan yang lebih dari cukup untuk membuat otot-otot kakinya yang kaku kembali lentur seperti sedia kala. Dia perlu banyak latihan sehingga bisa mengatur ritme larinya dengan baik, kembali belajar mengatur napasnya disela-sela berlari.

Sang pelari telah memulai langkah larinya di lintasan. Mencoba melatih kakinya, napasnya, staminanya. Siang dan malam dia terus berlatih, berlari mengitari lintasan tanpa kenal lelah. Jatuh tersungkur, mengalami kram kaki, memar di kaki pun dialaminya. Tapi dia masih terus bangkit dan kembali berlari.
Berlari tanpa kenal lelah memang membuatnya bermandikan keringat, jatuh tersungkur memang membuatnya berdarah dan menangis. Tapi dia telah memutuskan kembali ke lintasan itu, kembali menjadi seorang pelari. Keringat dan air mata selalu di sekanya dengan keteguhan hati dan tekad bahwa “Aku mampu melakukannya”.

Waktu baru berjalan sebentar, namun sang pelari sadar, catatan waktunya tidak mengalami perbaikan. Meskipun berbagai usaha dilakukan agar dia bisa berlari secepat mungkin di atas lintasan, catatan waktunya bahkan jauh dari catatan waktu ideal seorang pelari. Sang pelari terus mengoreksi dirinya, apa yang salah sampai dia tidak bisa kembali menjadi seperti dia yang dulu, meskipun latihan keras telah dijalaninya.

Sampai suatu hari ketika dia duduk di bangku audience dan mengamati pelari-pelari lain yang sedang berlatih, sang pelari menyadari sesuatu. Ada yang membedakannya dengan pelari-pelari lain itu. Usia… Sang pelari nyatanya sudah tidak muda lagi. Sedangkan, pelari-pelari yang lain itu masih muda dan energik, masih memiliki stamina yang jauh lebih baik dari sang pelari.

Sang pelari sadar, faktanya dia telah membuang waktu percuma selama 5 tahun hanya untuk mengobati satu luka kekalahannya. Mematikan sendiri semangatnya untuk berlari, menahan kuat-kuat keinginan kakinya untuk kembali menjejak lintasan. Sang pelari tidak sadar, selama kurun waktu 5 tahun itu mungkin sebenarnya ada kesempatan telah terlewati percuma.

Sekarang, ketika kaki kembali menuntunnya ke lintasan, Sang pelari sadar. Bukan porsinya lagi dia kembali ke lintasan sebagai seorang pelari. Bukan hanya karena kakinya yang pernah cedera sehingga membuat kakinya begitu riskan terhadap cedera otot, tapi factor usia juga menjadi warning sign utama. Daya tahan dan tenaganya jelas jauh menurun, napasnya sudah tidak sepanjang dulu, badannya juga jadi lebih ringkih terhadap luka dan kelelahan yang mendera.

Sekarang, Sang pelari sadar…. Tidak ada gunanya memaksakan diri kembali berlari di lintasan dengan segala keterbatasannya saat ini, Meskipun kemauannya untuk mencapai garis finish di depan sana sangat besar. Waktu dan pengalaman jatuh dimasa lalu telah membuatnya mengerti. Terlalu berambisi mencapai finish justru mungkin akan membuatnya kalah.

Sekarang, Sang pelari memutuskan membiarkan dirinya berjalan menjejak langkah mantap di lintasan menuju garis finish…. Tidak lagi harus berlari. Dia ingin menyelesaikan lintasannya kali ini dengan semangat baru, harapan baru menjadi seorang pemenang…setelah tertunda beberapa tahun yang lalu. Yang diinginkan sang pelari hanya satu, mencapai garis finish tanpa harus terjatuh dan terluka lagi.

Mungkin dia tidak pantas lagi disebut sebagai sang pelari karena saat ini dia hanya bisa berjalan menyusuri lintasan itu. Mungkin dia sekarang hanya seorang manusia lemah yang terlihat bodoh berjalan pelan menuju garis finish, tertinggal jauh dari para pelari yang lain. Tapi dalam hatinya, sang pelari tetap menjadi seorang pelari yang ingin mencapai garis finish, menjadikan dirinya seorang pemenang, meski bagi dirinya dan dengan caranya sendiri.

Saat ini langkah pasti sang pelari sedang dikayuh menuju garis finish.
Dalam setiap jejak langkahnya teruntai doa, ‘Tuhan…. Ijinkan aku mencapai garis finish tanpa terjatuh, tanpa harus terluka, tanpa kekhawatiran dikalahkan oleh pelari lain… ijinkan aku menang pada waktunya. ijinkan aku mencapai garis finish dan akhirnya bisa tersenyum menggenggam piala kemenanganku sendiri. Beri aku kesempatan membuktikan, ‘Aku memang pernah kalah dilintasan ini, tapi akhirnya aku kembali dan bisa memenangkan pialaku. Piala terbaik sepanjang hidupku, yang memang seharusnya ku menangkan, seperti yang telah Kau gariskan.’

Sang pelari memang telah berhenti berlari tapi semangatnya mencapai finish tidak pernah pupus. Semoga Tuhan melindungi, menguatkan dan memudahkan langkahnya menuju garis finish kemenangannya. Kemenangan sekali seumur hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar